Senin, 17 Juni 2013

Kisah Pembukuan Al-Qur'an

Pencetus                                : Umar bin Khattab
Khalifah                                  : Abu Bakar Ash-Shiddiq
Yang menuliskan                   : Zaid bin Tsabit
Yang menyimpan  Al-Qur'an : Hafshah ninti Umar

          Pada masa Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa salam penulisan Al-Qur'an sudah dimulai, namun belum sampai dibukukan. Tapi masih berserakan di berbagai wadah penulisan, seperti yang terbuat dari kulit binatang, kayu, pelepah kurma, bebatuan, dll.



          Lalu pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kaum muslimin menghadapi berbagai tantangan yang besar. Diantaranya adalah menghadapi gerakan kaum murtad yang berakibat meletusnya perang Yamamah yang cukup besar pada tahun 12 H. Pada perang tersebut, banyak sahabat yang gugur, diantaranya ada 70 orang penghafal Al-Qur'an. Melihat kenyataan tersebut, Umar bin Khattab mengusulkan agar Khalifah Abu Bakar melakukan pembukuan Al-Qur'an demi menjaganya dari kepunahan. Karena jika semakin banyak penghafal Al-Qur'an yang gugur, sementara Al-Qur'an tidak dibukukan, akan berbahaya bagi keutuhan Al-Qur'an.

          Meskipun pada awalnya Abu Bakar keberatan dengan usul Umar bin Kattab karena hal tersebut belum pernah dilakukan Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa salam, namun akhirnya setelah Umar bin Khattab terus mendesaknya, dia dapat menerimanya karena alasannya kuat.

          Abu Bakar memerintah Zaid bin Tsabit untuk menunaikan tugas mulia ini. Maka dengan penuh kesungguhan, Zaid bin Tsabit yang dikenal sebagai sahabat cerdas dan pandai membaca menulis, mulai mengumpulkan penulisan Al-Qur'an satu persatu, baik yang bersumber dari hafalan para sahabat atau yang tercatat di berbagai wadah sejak zaman Rasulullah sholallahu 'alaihi wa salam. Penulisan dilakukan berdasarkan penyusunan yang sudah ditentukan Rasulullah baik surat maupun ayatnya. Hingga akhirnya selesailah tugas besar tersebut pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan susunan  sebagaimana ketetapan Rasulullah sholallahu 'alaihi wa salam. Pembukuan pertama kali itu diberi nama Mushaf.
          Sebelum wafat, Abu Bakar menyerahkan mushaf tersebut kepada Umar bin Khattab yang juga beliau tetapkan sebagai khalifah berikut yang menggantikannya. Demikian seterusnya mushaf disimpan oleh Umar bin Khattab sebagai bukti otentik terpeliharanya Al-Qur'an secara tulisan. Kemudian menjelang wafatnya setelah ditikam oleh seorang Majusi bernama Abu Lu'lah, Umar bin Khattab berwasiat agar mushaf tersebut disimpan oleh Hafshah, putrinya yang juga istri Rasulullah. Selain ketika itu penerus kekhalifahannya belum ditentukan.

          Maka, sejak saat itu Hafshah mengemban amanah yang berat sekaligus mulia, yaitu menyimpan dan memelihara tulisan Al-Qur'an yang telah dibukukan sejak masa Abu Bakar Ash-Shiddiq. Berikutnya, tugas yang diemban Hafshah ini sangat besar peranannya dalam menyatukan tulisan Al-Qur'an di masa Utsman bin Affan.

          Utsman bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga, meneruskan kekhalifahan Umar bin Khattab. Pada masanya, wilayah negeri Islam semakin luas. Kaum muslimin di negerinya masing-masing menerima Al-Qur'an dari para sahabat yang datang kepada mereka untuk mengajarkan Al-Qur'an.

          Permasalahan berawal ketika terdapat perbedaan beberapa kosa kata dalam Al-Qur'an di masing-masing negeri sesuai dengan perbedaan sahabat yang menyampaikannya. Hal ini pada awalnya dapat dipahami, karena berdasarkan hadits Rasulullah sholallahu 'alaihi wa salam, Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf, sebagaimana sabdanya :
"Al-Qur'an turun dalam tujuh huruf. Dengan huruf mana saja kalian membacanya, maka kalian telah benar" - HR. Ahmad
       Namun lama-kelamaan, perbedaan-perbedaan tersebut semakin mengganggu, khususnya di kalangan masyarakat awam. Khususnya apabila penduduk muslim dari suatu negeri bertemu dengan penduduk muslim dari negeri lain, lalu mereka ketahui bahwa bacaan Al-Qur'an saudaranya dari negeri lain berbeda. Sehingga tidak jarang terjadi kesalah-pahaman yang dapat menimbulkan sengketa.

          Adalah seorang sahabat bernama Huzaifah Ibnu Yaman, setelah pulang dari peperangan di Azabejan dan Armenia melihat langsung akibat buruk dari kondisi tersebut. Maka beliau segera menemui Utsman bin Affan untuk segera mengambil tindakan menghindari bahaya yang akan terjadi akibat perbedaan bacaan dalam Al-Qur'an.

          Utsman bin Affan menerima masukan yang bermanfaat tersebut. Maka, selaku Khalifah, beliau membentuk panitia penulisan dan penggadaan Al-Qur'an yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'ad bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Kemudian sang Khalifah meminta kepada Hafshah untuk menyerahkan manuskrip Al-Qur'an yang disimpan padanya sebagai rujukan utama panitia yang dibentuknya dalam melakukan penulisan dan penggandaan Al-Qur'an.

          Sejak itu paniti bekerja keras melakukan penulisan dan penggandaan Al-Qur'an menjadi beberapa buah. Khalifah memerintahkan agar penulisannya dilakukan hanya dengan satu bentuk bahasa, yaitu bahasa Arab Quraisy. Beliau berpesan apabila dalam penulisannya terdapat perbedaan, hendaknya yang dijadikan acuan adalah bahasa kaum Quraisy. Setelah penggandaan selesai, mushaf asli kembali diserahkan kepada Hafshah.

          Hasil penggandaan mushaf kemudian dikirim ke berbagai negara Islam sebagai rujukan utama. Lalu Utsman memerintahkan agar catatan-catatan Al-Qur'an yang dilakukan secara individu segera dimusnahkan dengan dibakar. Agar tidak ada lagi perbedaan di tengah masyarakat antara satu bacaan dengan bacaan yang lainnya. Kaum muslimin semua menerima keputusan Khalifah Utsman sehingga menjadi ijma' yang merupakan kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak saat itu, bacaan Al-Qur'an umat Islam dapat disatukan kembali dan perpecahan karena perbedaan bacaannya dapat dihindari.

2 komentar:

  1. Koreksi ukhti , itu di artikel yang bagian " yang menyimpang al-quran" namanya sedikit di koreksi :)

    ninti = Binti

    BalasHapus